BAB I
PENDAHULUAN

Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta, kula dan warga yang bersatu menjadi “kulawarga” yang berarti “anggota” atau “kelompok kerabat”. Keluarga sebagai kesatuan sosial terbentuk oleh ikatan dua orang dewasa yang berlainan jenis kelamin, wanita dan pria serta anak-anak yang mereka lahirkan. Keluarga adalah satu-satunya situasi yang pertama dikenal anak baik semasa prenatal maupun post-natal. Keluarga inti (nuclear family) terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Menurut Rog & Baber fungsi keluarga meliputi; fungsi biologis, fungsi ekonomis, fungsi pendidikan, fungsi agama, fungsi sosial, fungsi rekreasi, dan memberi rasa aman. Kasih sayang yang diterima dari orangtua memberikan rasa aman pada anak yang menimbulkan sukses dari hidup dalam keluarga. Sebaliknya, karena kasih sayang itu timbul rasa tanggung jawab dan perasaan berkorban (berbakti) pada orangtua.
Pada kata “rumah tangga” yang berasal dari dua kata ‘Rumah dan Tangga’
ini memiliki makna yang sangat dalam, yaitu rumah atau tempat tinggal yang didiami oleh keluarga, yang menginginkan hidup berbahagia haruslah melalui anak-anak tangga (fase/tahapan) pertumbuhan keluarga yang mana diharapkan semakin bertambah tahun pernikahan akan semakin mencapai puncak kedewasaan keluarga. Tiap-tiap anak tangga/fase/tahapan itu selalu berhubungan dengan 4 tanggung jawab yang harus dilakukan yaitu tanggung jawab kepada: 1) Keluarga; 2) Karir; 3) Sesama (kerabat) yaitu mereka yang berada di sekitar keluarga; dan 4) Tuhan.
Keluarga akan harmonis bila para anggota didalamnya bisa berhubungan secara serasi dan seimbang, saling memuaskan kebutuhan anggota lainnya serta memperoleh pemuasan atas segala kebutuhannya. Teori Maslow yang membahas tentang beragam kebutuhan manusia telah menyusun suatu hierarki kebutuhan yang harus dipenuhi oleh individu sebagai pribadi dan sebagai anggota keluarga secara selaras dan seimbang, yaitu:
1.Kebutuhan biologik-faali (kebutuhan-kebutuhan dasar) seperti makan, minum, pakaian
2.Kebutuhan akan rasa aman (bebas dari bahaya dan ancaman baik fisik maupun psikis)
3.Kebutuhan akan kasih sayang (afeksi) dan rasa kebersamaan, rasa memiliki dan dimiliki, merasa dirinya bagian integral dari keluarga (belonging)
4.Kebutuhan akan penghargaan dan prestasi (self esteem)
5.Kebutuhan akan perwujudan diri (aktualisasi diri)
Kebutuhan-kebutuhan ini membentuk suatu sistem. Dimana sebelum kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah terpenuhi sampai derajat tertentu maka individu atau kelompok belum akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang berada pada tingkat yang lebih tinggi.
Keberadaan keluarga dalam kehidupan manusia bisa menjadi salah satu bukti keniscayaan kerja sama yang sehat demi kehidupan normal manusia. Sebuah keluarga terdiri atas bermacam-macam orang dengan banyak keinginan. dalam satu rumah, ada ayah, ada ibu, ada anak-anak, bahkan mungkin pula ada pembantu rumah tangga. Daftar penghuni rumah ini bisa ditambah misalnya dengan paman, bibi atau kakek dan nenek. Beragam orang terangkum dalam sebuah keluarga yang harmonis, tidak banyak ditandai pertikaian, bahkan sanggup berperan sebagai ajang kehidupan bersama yang menguatkan setiap anggotanya. Keluarga harmonis ditandai oleh adanya relasi yang sehat antar anggotanya sehingga dapat menjadi sumber hiburan, inspirasi, dorongan yang menguatkan dan perlindungan bagi setiap anggotanya. Dalam keluarga yang harmonis setiap anggota keluarga harus menyadari dan mengakui hak dan kewajiban masing-masing.

BAB II
ISI

Kasus
Sepasang suami istri menginjak tahun ke-10 menjalani mahligai rumah tangga tengah mengalami konflik. Sebut saja Nyonya T dan Pak W, kini terlibat perang terbuka yang mengancam keberlangsungan kehidupan keluarganya. Mereka berdua memiliki masalah dalam bidang ekonomi. Masalah ini menyebabkan keharmonisan keluarga menjadi terganggu dan sempat terucap kata cerai dari Pak W terhadap istrinya. Hal ini membuat Pak W membulatkan tekadnya pergi dari rumah keluarga sang istri dan memilih pisah ranjang.
Pertengakaran ini bermula dari keinginan si istri yang ditolak oleh suaminya karena perbedaan pendapat. Masalah tersebut menjadi kian rumit karena ada campur tangan dari orangtua si istri, dimana ibu mertuanya yang sejak awal pernikahan memang tidak menyukai Pak W sebahgai suami dari anaknya, menjadi provokator yang senantiasa membuat suasana rumah menjadi kian panas. Ketidaksukaan ini ada alasannya, si ibu tidak menyukai menantunya karena merasa ditipu dan dirugikan oleh menantunya yang hadir tidak dengan jalan “biasa”.
Putrinya menikah akibat MBA (married by accident) buah cintanya dengan pacar yang kini menjadi suaminya. Sebenarnya ibunya tidak menyetujui hubungan putrinya dengan pacarnya karena ibunya telah memilihkan seorang lelaki yang dinilainya pantas mendampingi putrinya. Tetapi nasi telah menjadi bubur, putrinya direlakan menikah dengan pacarnya meskipun ia telah berusaha memisahkan mereka berdua. Selain menghindari rasa malu akan pandangan tetangga, putrinya telah mengandung cucunya sehingga mau tidak mau ia merestui pernikahan putrinya.
Usia Nyonya T terbilang masih muda saat dia memutuskan untuk menikah. Sedangkan Pak W juga baru menyelesaikan studinya sehingga belum memiliki pekerjaan yang tetap. Di saat seperti itu mereka berdua menjalani hidup dengan menggantungkan diri kepada orangtua masing-masing. Kini setelah memasuki usia 10 tahun perkawinan, hubungan suami-istri ini sedang mengalami cobaan yang melibatkan pula hubungan antar menantu dan mertua yang beberapa waktu lalu mengalami letupan-letupan masalah yang bisa terselesaikan dengan baik. Kini maslah yang lebih besar mulai nampak dari ucapan Pak W yang terbawa emosinya mengeluarkan kata cerai kepada istrinya.
Setelah ditelusiri ihwal masalahnya ternyata pemicu masalah ini dapat dibilang karena hal sepele. Apalagi Pak W dengan tegas menyatakan sangat menyanyangi istrinya dan dua buah hatinya. Pak W merasa tidak rela memutuskan ikatan keluarga yang telah dibina selama hampir 10 tahun itu karena masalah yang tidak layak untuk tetap dipertahankan sebagi pembenar alasan perceraian. Akhirnya ada usaha Pak W untuk rujuk dengan istrinya dan Nyonya T ternyata juga sependapat dengannya sehingga mereka berdua akur kembali. Kasus ini kelihatnnya selesai dengan damai tetapi masalah yang sebenarnya adalah pada ketidakharmonisan hubungan antara menantu dan mertua yang hidup dalam satu atap. Ada keinginan dari Pak W untuk mengontrak rumah menjauhi mertuanya tetapi karena Nyonya T adalah anak kesayangan ibunya, mertuanya selalu memiliki alasan untuk menggagalkan rencana Pak W.
Akhirnya dari satu masalah yang mereda akan selalu timbul masalah baru yang kebanyakan masalah itu menjadi besar akibat dari provokasi mertuanya dan mau tidak mau Pak W harus bertahan menjaga kapal pimpinannya dari badai yang menghadang agar tidak pecah dan hancur. Kalau sampai terjadi putus ikatan perkawinan ini akan berdampak besar pada kehidupan anak-anak hasil pernikahan mereka. Pak W tidak ingin anak-anaknya tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang “cacat” sehingga selama ia masih bisa bertahan ia akan bersabar menghadapi masalah yang melanda.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Teori
Pada setiap keluarga ada tahapan yang harus dilalui untuk mewujudkan suatu bentuk keluarga yang ideal. Tahap perkembangan keluarga menurut Spradley:
1. Pasangan baru (keluarga baru)
2. Membina hubungan dan kepuasan bersama
3. Menetapkan tujuan bersama
4. Mengembangkan keakraban
5. Membina hubungan dengan kelaurga lain, teman, kelompok sosial
6. Diskusi tentang anak yang diharapkan
Memahami fase-fase pertumbuhan keluarga penting agar dapat mengerti tugas dan tantangan yang terkandung di dalam setiap fase yang akan menuju kekedewasaan keluarga yang utuh. Keberhasilan keluarga dalam menyelesaikan setiap tugas pada setiap fase akan mempengaruhi perkembangan fase-fase selanjutnya. Ada empat fase pertumbuhan keluarga yang masing-masing mencakup sekitar kurun 10-12 tahun.
1. Fase Membangun. Ini adalah anak tangga pertama dalam pernikahan. Tahap ini disebut “membangun”, yaitu tahap membangun fondasi keluarga, sebab pada tahap ini pasangan nikah barulah memulai membangun (a) keluarga, yaitu membangun keakraban, keharmonisan keluarga, saling mengenal lebih dalam pasangan dan anak-anak yang lagi bertumbuh; (b) karier, sebagi tantangan terbesar pada fase pertama ini karena karir baru dirintis; (c) Jaringan dengan sesama (kerabat), pada tahap ini keakraban dengan mertua, saudara sepupu, lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal sedang dibangun.(d) Hubungan yang harmonis keluarga baru dengan Tuhan, hal ini akan menolong anak-anak dan keluarga menjadi kokoh satu dengan yang lain dan kokoh dalam Iman. Fase pertama ini adalah fase yang sangat penting, karena bilamana gagal meletakan fondasi yang kuat maka akan menuai dampaknya pada fase-fase berikutnya.
2. Fase Memelihara atau Mempertahankan. Di mana memelihara keutuhan, harmonisan dengan keluarga, dan karier, kerabat dan dengan Tuhan, yang telah dibangun sebelumnya. Dalam fase ini keluarga mengalami gempuran yang sangat hebat berlangsung sekitar 12 tahun atau lebih dan memasuki krisis usia paruh-baya. Karir sudah mencapai titik mapan, keuangan mulai mantap, anak-anak sudah mulai masuk kuliah sedangkan saat ini sering kali hubungan suami istri mulai menjadi dingin. Karena istri mulai memasuki masa menopause, dan pada suami kekuatan sudah mulai menurun. Pada fase ini disebut juga fase mempertahankan karena keluarga sedang menghadapi tantangan untuk mempertahan kekokohan keluarga, karir, hubungan dengan kerabat, dan hubungan keluarga dengan Tuhan.
3. Fase Mempersiapkan, Ini adalah anak tangga ketiga dari pernikahan dan disebut “persiapan” sebab memang harus mulai mempersiapkan masa pensiun sekaligus menolong anak mempersiapkan memilih pasangan yang tepat. Tantangan terbesar pada 10-12 tahun ini adalah menjalin hubungan yang semakin kuat dengan, keluarga, Tuhan, dan kerabat, agar dapat memasuki hari tua tidak dalam kesepian. Bila dalam tahap ini tidak memiliki hubungan yang kuat dan baik dengan anak, anak mantu, cucu, atau sudara, dan teman, maka pada fase berikutnya disaat tua dan sakit-sakitan, akan menjadi orang yang paling kesepian dan menderita diatas dunia ini.
4. Fase Menikmati. Disebut menikmati sebab memang kunci untuk melewati hari tua adalah menikmatinya. Sudah tentu jauh lebih mudah untuk menikmatinya bila telah menanam benih yang sehat dalam hidup selama fase-fase sebelumnya. Pada fase ini tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah apakah tetap dapat menikmati hari tua. Alangkah indahnya misalkan kerabat masih ada dan masih bisa dekat, hubungan dengan keluarga juga baik, suami-istri saling mengasihi, anak-anak saling menghormati; semakin dekat kepada Tuhan, walau di usia tua meskipun aktivitas lebih terbatas, sering sakit-sakitan tetapi tetap mendapatkan kepuasan, kenikmatan dari keluarga dan sahabat. Betapa indahnya di usia 65-70an anak-anak sudah mapan, dan masih bisa ramai-ramai berkumpul, pergi bersama anak atau bersama sahabat.
Hasil riset oleh John DeFrain (Strong families around the world) menemukan ada enam karakteristik yang sama yang dimiliki oleh keluarga-keluarga kokoh di seluruh penjuru dunia, baik keluarga dari negara maju, negara berkembang ataupun negara terbelakang, yaitu:
1. Komitmen. Dalam kamus bahasa besar bahasa Indonesia “komitmen” berarti “perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu”.
2. Penghagaan serta kasih sayang. Anggota didalam keluarga kokoh dan bahagia sangat menaruh perhatian satu dengan yang lain. Kuncinya adalah perlunya anggota keluarga dalam memiliki pengertian terhadap ungkapan emosi yang positif.
3. Komunikasi yang positif. Keluarga yang dapat mengekpresikan perasaan mereka secara terbuka dan jujur satu dengan yang lain. Anggota keluarga memiliki perbedaan dan bisa timbul konflik, tetapi mereka berbicara dengan sopan, tanpa menuduh dan menghakimi satu dengan yang lain. Menyelesaikan perbedaan kadang-kadang berakhir dengan ketidaksepakatan. Namun tidak menghindar dari masalah dan tetap menghindari kritikan serta sikap bermusuhan. Penelitian dalam Strong families telah didapatkan beberapa aspek yang sangat penting.
a. Angota keluarga yang kokoh memiliki kesanggupan menjadi pendengar dan memberikan perhatian yang sangat baik.
b. Anggota kelurga kokoh juga lebih suka bertanya dari pada mencoba membaca pikiran anggota keluarga yang lain.
c. Humor adalah salah satu bagian yang sangat penting didalam healthy family. Dalam satu studi ditemukan didapati bahwa mereka suka berkelakar atau tertawa bersama untuk membina pandangan yang positif dalam hidup untuk penghiburan dalam mengurangi ketegangan, mengurangi kecemasan serta menunjukan kehangatan dan menolong mengatasi situasi sulit (Defrain Wueffel & N Stinett, 1990, ’ How strong families use humour’)
4. Waktu bersama yang berkualitas, memprioritaskan kebersamaan. Kesanggupan keluarga dalam menyediakan waktu bersama untuk saling berbagi kasih dan perhatian, kelembutan, kegembiraan, ketakutan bahkan dalam kemarahan merupakan usur yang memperkokoh keluarga. Keluarga yang kokoh dan sehat, adalah yang meluangkan waktu bersama, melakukan sesuatu bersama.
5. Kehidupan rohani yang sehat. Sangat jelas dari banyak kebudayaan dan latar belakang agama, meyakini bahwa kepercayaan atau keyakinan kepada Tuhan menolong menciptakan satu pusat kepedulian diantara masing-masing induvidu yang medorong mereka untuk saling berbagi rasa, kasih, dan perhatian.
6. Kesanggupan menghadapi krisis dan stress. Keluarga yang kokoh itu adalah keluarga yang terus-menerus bertumbuh, karena setiap kali ada konflik di situlah tempat belajar, tempat bertumbuh lagi. Keluarga kokoh berhasil menghadapi krisis dan cobaan berat dengan strategi sebagai berikut: (N Stinnett, 1981, How strong families cope the crises)
a. Mereka bekerja sama menghadapi krisis yang terjadi.
b. Anggota keluarga terkecil berusaha untuk menanggung bebanikut berjuang bersama-sama.
c. Mengatasi tiap-tiap krisis yang terjadi dalam susana yang positif.
d. Meminta bantuan bila tidak bisa memecahkan problema-problema yang menghadang
Keluarga harmonis dilihat dari berbagai macam hubungan antara lain;
1. Hubungan antar suami istri. Keluarga harmonis merupakan tanggung jawab suami-istri, suami-istri dapat rukun jika masing-masing mensyukuri apa yang ada pada pasangannya. Suami-istri sejajar, mitra yang bersatu padu menjalankan bahtera rumah tangga. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat sedangkan pembagian tugas rumah tangga dibagi rata dan saling bertanggung jawab. Suami-istri ibarat puzzle, potongannya saling melengkapi satu sama lain. Apabila ada potongan yang tidak pas atau hilang maka puzzle tidak akan lengkap, demikianlah rumah tangga itu. Hubungan suami-istri yang serasi antara lain menunjukkan: Adanya penyesuaian diri antara keluarga; Adanya saling pengertian antara suami-istri; Adanya saling tenggang rasa (toleransi); Adanya saling penghargaan; Adanya saling bertanggung jawab atas hubungan sebagai suami istri; Adanya saling gotong royong; Adanya pengakuan dari kedua belah pihak bahwa masing-masing berhak atas perwujudan diri pribadi.
2. Hubungan antar orang tua –anak. Ketidaksamaan kebutuhan dan keinginan antara pengharapan orangtua terhadap anak dengan apa yang sebenarnya diinginginkan oleh anak menjadi sumber dari tidak efektifnya komunikasi antara orang tua dengan anak. Tanpa orang tua sadari, orang tua menjadi seperti mesin perintah yang selalu memaksa anak untuk melakukan apa yang dikehendakinya, menjadi orang tua yang sebentar-bentar melarang. Beberapa hal yang menjadi indikasi serasinya hubungan antara orang tua-anak antara lain: Adanya pengetahuan dan wawasan orang tua-anak tentang pentingnya hubungan yang setara dalam keluarga; Tumbuhnya rasa cinta dan kasih sayang antara orang tua-anak atau sebaliknya; Munculnya rasa hormat dan menghargai satu sama lainnya; Adanya sikap dan perilaku orang tua yang rasional dan bertanggung jawab terhadap proses tumbuh kembang anak; Adanya kemampuan orang tua untuk mendeteksi gejala yang memungkinkan timbulnya permasalahan anak.
3. Hubungan antar anak, interaksi antar saudara didalam keluarga tentunya tidak terlepas dari peran orang tua sejak awal didalam pengasuhan. Satu hal yang orang tua perlu ingat bahwa bagaimana mereka berelasi akan menjadi contoh bagi anak-anaknya untuk melakukan interaksi diantara saudara. Hubungan antar saudara (kakak-adik) yang harmonis menunjukkan: Adanya perasaan saling menyayangi dan saling mengasihi antar anak; Adanya keinginan dan kebutuhan untuk saling melindungi diantara anak; Munculnya perasaan saling menghormati dan menghargai kewajiban dan hak antar saudara; Saling membantu satu sama lain (kakak-adik) yang diwujudkan melalui pemberian bimbingan dari kakak kepada adik dan sebaiknya adik menghargai.
Untuk mencapai kehidupan keluarga yang harmonis, tentunya banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan. Beberapa diantaranya menurut Drs. Sukmana adalah :
1. Peran masing-masing anggota keluarga. Berjalannya peran dari masing-masing status tersebut akan memperlancar laju bahtera rumah tangga.
2. Empati (menempatkan diri pada posisi orang lain). Suami-istri saling menghargai keberadaan masing-masing sehingga terjadi saling pengertian dan tumbuh cinta kasih yang berkesinambungan.
3. Pengalaman Hidup, yang dimiliki suami dan istri akan mempengaruhi dalam menyikapi kehidupan keluarga. Semakin luas pengalaman, maka akan semakin matang dalam menghadapi masalah yang timbul.
4. Adat istiadat. Perbedaan adat istiadat ini dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing. Selain itu, adat suami dan istri dilatarbelakangi oleh keluarganya masing-masing.Dengan adanya perbedaan ini seyogyanya suami dan istri saling menghormati dan menghargai.
5. Tujuan Keluarga sebagai pedoman yang dapat memberi arah atau jalan yang harus dilalui oleh anggota keluarga.
6. Anggaran pendapatan dan belanja keluarga dalam sebuah keluarga sebaiknya disusun anggaran pendapatan dan belanja keluarga.
7. Hubungan (komunikasi). Semua faktor diatas harus dikomunikasikan kepada semua anggota keluarga. Komunikasi dalam keluarga bisa terjadi secara verbal maupun non verbal. Dalam menyampaikan pesan hendaknya memperhatikan beberapa hal. Misalnya dengan menggunakan bahasa yang sederhana, waktu yang tepat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, sehingga mudah dipahami oleh seluruh anggota keluarga.
Dalam sebuah keluarga tidak jarang ditemui bahwa dalam satu tap tinggal bebrapa keluarga yang hidup bersama. Ada istilah keluarga extended family dimana dalam keluarga ini terdapat perpanjangan hubungan kekerabatan secara horisontal maupun vertikal. Salah satunya bentuk kelurga yang didalamnya terdapat hubungan menantu-mertua. Banyak kasus-kasus meliputi hubungan ini, yang sering terdengar biasanya banyak melibatkan menantu perempuan dan mertua perempuan. Namun demikian, hal ini tentu tidak bisa diartikan bahwa menantu lelaki tidak pernah menghadapi masalah dengan mertua lelaki maupun mertua perempuan atau antara menantu perempuan dengan mertua lelaki.
Argumentasi klasik bahwa lelaki dan perempuan pada dasarnya memang memiliki perbedaan mempengaruhi banyak kasus yang muncul antara menantu perempuan dan mertua perempuan. Menurut John Gray dalam bukunya Men Are From Mars, Women Are From Venus, perbedaan mendasar antara lelaki dengan perempuan dapat digambarkan sebagai berikut:
Lelaki Perempuan
Sense of self dinilai dari prestasi; Lebih berorientasi pada tugas; Mandiri; Minta bantuan dapat diartikan sebagai lemah Sense of self dinilai dari kemampuan membina hubungan; Lebih berorientasi pada hubungan; Saling tergantung; Minta bantuan berarti menghormati orang yang dimintai bantuan
Fokus pada tujuan Menikmati proses
Bersaing Bekerjasama
Mengandalkan kemampuan analisis Mengandalkan kemampuan intuisi
Cara pikir Linear: fokus pada satu hal dalam satu waktu dan terkotak-kotak Multi-tasking: berkutat dengan hal-hal kecil dalam satu waktu dan sambung-menyambung (seperti gulungan benang)
Bertindak; Merasa lebih baik dengan menyelesaikan masalahnya Berbicara; Merasa lebih baik dengan membicarakan masalahnya
Saat stress: cenderung menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan atau
menarik diri Saat stress: semakin terlibat dengan orang lain, lebih banyak berbicara agar dapat
didengarkan dan dimengerti
Kebutuhan utama: dihormati (dipercaya, diterima, dihargai, dikagumi, diteguhkan, didukung). Kebutuhan utama: diayomi (diperhatikan secara lembut, dimengerti, dihormati, dilindungi, diteguhkan, penghiburan).
Kata-kata digunakan untuk menyampaikan fakta dan informasi Kata-kata merupakan sesuatu yang alami, sama halnya seperti bernafas

Dengan melihat beberapa perbedaan diatas, tentunya dapat dimengerti mengapa masalah menantu-mertua kebanyakan terjadi diantara kaum perempuan.

B. Dinamika Psikologis
Pada kasus yang dipaparkan sebelumnya dapat dilihat bahwa akar masalah dari timbulnya permasalahan rumah tangga Pak W dan Nyonya T akibat dari intervensi mertua Pak W sehingga menyebabkan ketidakharmonisan keluarga Pak W. Dari uraian kasus di atas diketahui bahwa usia perkawinan Pak W dan Nyonya T hampir melewati fase pertama yaitu fase membangun yang meliputi pembangunan fondasi keluarga. Pasangan nikah mulai membangun keluarga yaitu membangun keakraban, keharmonisan keluarga, saling mengenal lebih dalam antara pasangan dan menjaga anak-anak yang sedang bertumbuh. Selain itu pada fase ini pasangan nikah harus meniti karir untuk memamtapkan posisi keuangan keluarga demi menjamin keberlangsungan anggaran keluarga yang sangat berpengaruh pada kehidupan di masa yang akan datang.
Tahapan ini juga meliputi pembangunan keakraban dengan sesama kerabat, meliputi keakraban dengan mertua, saudara sepupu, lingkungan kerja, maupun lingkungan tempat tinggal. Sayangnya dalam mengembangkan keakraban dan membina hubungan dengan anggota keluarga lain mengalami hambatan, dimana Pak W sudah terlebih dahulu mempunyai penilaian negatif dari mertuanya khususnya mertua perempuan. Keakraban yang dibangun mengalami hambatan sehingga pernikahan ini rawan konflik dimana mertua yang seharusnya menjadi pembimbing dan membina keluarga baru malah menyebabkan hubungan yang terbangun antara pasangan nikah ini menjadi goyah.
Selanjutnya fase ini mencakup hubungan yang harmonis antara keluarga baru dengan Tuhan, hal ini akan menolong anak-anak dan keluarga menjadi kokoh satu dengan yang lain dalam kekuatan iman. Hendaknya dalam fase ini hubungan yang dibangun dengan kerabat juga diimbangi dengan membangun hubungan dengan Tuhan, dimana para anggota keluarga dapat mendekatkan diri dan tetap berpegang teguh pada imannya terhadap Sang Pencipta bila menemui permasalahan dalam membangun fondasi keluarga yang kokoh. Fase pertama adalah fase yang sangat penting, karena bila gagal meletakan fondasi yang kuat maka berdampak pada fase-fase berikutnya.
Yang diperlukan dalam membangun keluarga ideal adalah komitmen. Komitmen yang diucapkan saat perjanjian ijab-qabul merupakan pengingat akan pasangan nikah untuk mencapai tujuan awal pernikahan dalam membentuk keluarga meskipun banyak aral merintang. Selain itu, angota keluarga khususnya pasangan nikah hendaknya saling memberikan penghargaan serta kasih sayang. Keduanya dapat diekspresikan dengan ungkapan emosi yang positif, misalnya dengan tatapan lembut maupun ucapan penuh perhatian. Dengan ungkapan positif tersebut dapat membangun rasa keterikatan yang lebih kuat karena berlandaskan rasa saling menghormati dan menghargai.
Adanya komunikasi yang positif secara terbuka dan jujur satu dengan yang lain antar pasangan nikah akan sangat membantu dalam penyelesaian suatu masalah. Komunikasi adalah hal terpenting dalam pemecahan masalah karena denan komunikasi dua arah akan ditemukan keputusan yang dapat mendamaikan (win-win solution). Pada kasus diatas dapat terlihat bahwa Pak W berusaha memperbaiki hubungannnya dengan Nyonya T karena telah berkomitmen untuk membentuk keluarga yang ideal dengan mendahulukan kepentingan anaknya. Dalam kasus, Pak W berusaha mengkomunikasikan masalahnya dengan istrinya dan dapat terselesaikan dengan baik karena keduanya saling menghargai.
Hubungan antar suami istri pada kasus tersebut dirasakan sebagi satu kesatuan dimana suami-istri derajatnya sejajar, mitra yang bersatu padu menjalankan bahtera rumah tangga. Sayangnya dalam pengambilan keputusan pada beberapa masalah keputusan yang diambil juga melibatkan orang lain (mertua) sehuingga hubungan suami-istri yang seharusnya sejajar menjadi tidak imbang. Hubungan suami-istri tidak imbang ini terlihat dari tidak adanya penyesuaian diri antara keluarga, dalam kasus hubungan penyesuaian diri ini hanya dilakukan oleh Pak W saja, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam merespons suatu masalah. Tidak adanya saling pengertian antara suami-istri, sebenarnya pasangan nikah dalam kasus bisa saling pengertian tetapi karena ada intervensi dari luar salah satu pihak jadi merasa dominan (Nyonya T).
Ada beberapa fakta dalam kasus yang membuat rumah tangga ini menjadi rawan perceraian, antra lain peran masing-masing anggota keluarga yang tidak berjalan sesuai dengan peran dari masing-masing status sehingga tidak memperlancar laju bahtera rumah tangga. Peranan dari orangtua (mertua) tidak dijalankan sesuai konteksnya yaitu membimbing dan membina pasangan nikah tetapi malah merecoki dan menghasut dalam setiap silang pendapat pasangan nikah. Peranan yang salah ini berpengaruh pada pengalaman hidup yang sedang dibangun suami-istri yang nantinya akan mempengaruhi dalam menyikapi kehidupan keluarga.
Selain itu pada aspek adat istiadat yang dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing tidak disikapi secara dewasa karena pada tahapan membangun ini mereka baru belajar menerima perbedaan masing-masing pasangan. Penerimaan ini terkait dengan usia nikah muda, mengingat Nyonya T saat menikah baru berusia 18 tahun (emosinya belum stabil) sedang suaminya baru menyelesaikan studinya. Keduanya masih belum dapat mandiri emosi maupun ekonomi. Pada kasus diatas pemicu masalah adalah faktor ekonomi dimana anggaran pendapatan dan belanja keluarga dalam sebuah keluarga tidak transparan sehingga menyebabkan adanya saling curiga dan menimbulkan perpecahan.
Pada kasus di atas unsur terpentingnya adalah sebabnya timbul konflik yang berkepanjangan karena adanya campur tangan dari pihak mertua. Hubungan menantu dan mertua pada kasus di atas terlihat buruk antara mertua perempuan dan menantu laki-laki yang jarang terekspos di dalam kehidupan sehari-hari. Pada kasus diatas Pak W berusaha menyelesaikan maslah dengan bersabar tanpa meminta bantuan dari orang lain karena adanya mindset bahwa meminta bantuan dapat diartikan sebagai lemah dan dianggap memalukan jika meminta pertolongan dari orang lain. Pak W selalu fokus pada tujuan penyelesaian masalah hanya pada tingkatan istrinya karena adanya pola pikir linear dimana kefokusan hanya pada satu hal dalam satu waktu dan terkotak-kotak.
Selain itu saat stress Pak W cenderung menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan bahkan sampai menarik diri (pergi dari rumah). Kebutuhan utamanya untuk dihormati,dipercaya, diterima, dan didukung sulit didapatkannya dalam rumah sehingga Pak W memutuskan untuk menjauhi rumah dan memikirkan jalan keluar untuk mengontrak rumah memisah dari mertuanya agar bisa kembali dihormati istrinya. Sayangnya usaha ini tidak bisa berjalan lancar karena kata-kata yang digunakan mungkin hanya untuk menyampaikan fakta dan informasi tanpa mengungkap aspek kedepannya (kehidupan rumah tangga setelah berpisah dari mertua) kepada istrinya maupun mertuanya sehingga komunikasinya tidak berhasil.

C. Treatment
Pada kasus diatas dapat diberikan treatment untuk menanggulangi permasalahan ketidaklancaran hubungan antara keluarga dengan konseling keluarga dan perkawinan. Pada hakekatnya konseling keluarga terutama untuk membantu keluarga dari para penderita skizofrenia sebagai cara baru untuk memahami dan menangani penderita gangguan mental, kemudian berkembang untuk membantu keluarga-keluarga yang tidak berfungsi baik. Beberapa pendekatan baru dalam konseling keluarga:
1. Multiple family therapy; merupakan grup terapi dengan secara rutin keluarga menjalani konseling dengan saling menceritakan problem dan saling membantu dalam penyelesaiannya.
2. Multiple impact therapy; penanganan seluruh keluarga oleh konselor komunitas yang multi disipliner selama waktu yang singkat (2 hari)
3. Network therapy; merupakan grup terapi, dimana sejumlah orang dimobilisasi dalam satu kelompok krisis yang bersifat terapeutik.
Ranah konseling perkawinan kadang-kadang digabung dalam model-model konseling keluarga, tapi sejak 1970-an lebih sering dipisahkan.. Terdapat 5 macam pendekatan dalam konseling perkawinan :
a. Psikoanalitik
b. Sosial kognitif
c. Sistem-sistem keluarga Bowen
d. Strategi struktural
e. REBT ( Rasional Emotive Behavioral Therapy )
Pelaksanaan konseling perkawinan dan keluarga harus selalu dalam kerangka berpikir yang berbasis teoritis dan mengingat bahwa anggota-anggota dalam perkawinan dan keluarga adalah dalam lingkungan hidup individu dan keluarga, konselor juga harus menggunakan teori-teori individual atau kelompok dengan saling melengkapi atau mengurangi.
Secara umum, tujuan family conseling/therapy adalah: 1)Membantu anggota keluarga untuk belajar dan secara emosional menghargai bahwa dinamika keluarga saling bertautan di antara anggota keluarga; 2)Membantu anggota keluarga agar sadar akan kenyataan bila anggota keluarga mengalami problem, maka ini mungkin merupakan dampak dari satu atau lebih persepsi, harapan, dan interaksi dari anggota keluarga lainnya; 3)Bertindak terus menerus dalam konseling/terapi sampai dengan keseimbangan homeostasis dapat tercapai, yang akan menumbuhkan dan meningkatkan keutuhan keluarga; 4)Mengembangkan apresiasi keluarga terhadap dampak relasi parental terhadap anggota keluarga (Perez, 1979).
Secara khusus, family conseling/therapy bertujuan untuk :
1. Membuat semua anggota keluarga dapat mentoleransikan cara atau perilaku yang unik (idiosyncratic) dari setiap anggota keluarga.
2. Menambah toleransi setiap anggota keluarga terhadap frustrasi, ketika terjadi konflik dan kekecewaan, baik yang dialami bersama keluarga atau tidak bersama keluarga.
3. Meningkatkan motivasi setiap anggota keluarga agar mendukung, membesarkan hati, dan mengembangkan anggota lainnya.
4. Membantu mencapai persepsi parental yang realistis dan sesuai dengan persepsi anggota keluarga (Perez, 1979).

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa dalam membentuk sebuah keluarga ideal harus melewati beberapa tahap perkembangan dan fase untuk menyempurnakan keluarga yang dibangun. Dalam tiap fase mungkin mengalami berbagi masalah yang semestinya bisa disikapi dengan bijak dan menjadikanya sebagai pengalaman berharga yang akan menjadi bekal menuju ke kedewasaan dari sebuah keluarga.
Perlu juga diperhatikan dalam membangun rumah tangga ada kalanya pasang surut sehingga bagi pasangan nikah seyogyanya selalu mengingat komitmen yang telah dibuat dalam melanjutkan tahapan selanjutnya. Pada kasus diatas dapat dipetik pelajaran bahwa dalam pembentukan rumah tangga rawan intervensi dari pihak ketiga sehingga pasangan nikah harus lebih bijak menyikapi setiap informasi yang datang.

B. Saran
Bagi yang mungkin mengalami masalah dengan mertua atau menantu, ada baiknya mempertimbangkan beberapa saran berikut ini:
1. Mulailah berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri artinya menciptakan suasana tenang dalam diri sendiri dan membuang berbagai pikiran negatif yang muncul. Adapun cara-cara yang bisa dilakukan adalah:
a. Ambil jarak dengan cara mengurangi jumlah pertemuan atau bila perlu tidak bertemu sama sekali untuk sementara waktu
b. Alihkan pikiran secara total pada hal-hal lain yang lebih positif , misalnya urusan anak/cucu, suami, rumah, pekerjaan, dan terutama ibadat (mendekatkan diri pada Tuhan).
2. Interospeksi Diri. Setelah suasana hati menjadi lebih tenang dan dapat berpikir dengan lebih jernih, mulailah memeriksa diri mengapa masing-masing (mertua dan menantu) bersikap saling menyebalkan terlepas dari apa yang dipermasalahkan. Lakukan introspeksi diri secara mendalam. Ingatlah bahwa setiap perselisihan pasti melibatkan lebih dari satu orang dan dalam hal ini tidak ada yang tidak bersalah. Belajar sedikit demi sedikit melihat permasalahan secara obyektif. Mulailah dengan mengubah pola pikir. Selain itu cobalah belajar untuk tidak menghakimi atau menilai orang lain dengan nilai-nilai yang ada dalam diri sendiri. Sebab jika cara seperti itu yang digunakan maka akan sulit untuk memulai inisiatif penyelesaian masalah dengan mertua/menantu.
3. Mulailah belajar untuk memahami beberapa hal seperti: Setiap keluarga mempunyai budayanya sendiri-sendiri, begitu juga antara menantu dan mertua memiliki budaya keluarga yang berbeda atau bertolak belakang. Yang dimaksud dengan budaya keluarga disini adalah aturan, didikan, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu keluarga; Ada hal-hal yang harus tetap dijaga oleh pihak menantu dalam berinteraksi dengan mertua dan sebaliknya. Dengan demikian kedua pihak tidak boleh saling memaksakan kehendak untuk diakui sebagai anak (bagi menantu) atau pun dianggap sebagai orangtua (bagi mertua). Haruslah disadari bahwa untuk sampai pada tahap seperti itu pasti dibutuhkan waktu untuk saling menyesuaikan diri dan saling memahami; Seorang menantu atau mertua harus mampu melihat dan memahami permasalahan secara obyektif.
4. Jangan mudah terpancing dengan informasi atau gosip yang diberikan oleh pihak ketiga. Dalam menyikapi pemberian informasi yang bisa ditambah atau tidak sempurna maka alangkah baiknya jika informasi yang diterima langsung dikonfirmasikan ke pihak yang bersangkutan.
5. Jika anda membutuhkan orang lain untuk “curhat”, maka pastikan orang tersebut benar-benar dapat dipercaya. Carilah orang-orang yang memang memiliki kompetensi dalam membantu penyelesaian masalah. Orang-orang tersebut misalnya konselor perkawinan, psikolog maupun psikiater. Dengan melakukan curhat atau konsultasi pada orang-orang tersebut, maka semua rahasia pasti akan terjaga dengan baik. Selain itu akan dibantu dalam mencarikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi.
Akhiranya dari semua saran itu haruslah disadari bahwa dibutuhkan kerendahan hati dan kesabaran untuk menyadari, mengakui, dan menerima kekurangan-kekurangan diri sendiri, serta mengerti dan menerima kekurangan-kekurangan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Gunarsa, Singgih D. 1995. Psikologi untuk Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
Irfan, Sabani dkk. 2000. Bunga Rampai Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
May, Larry dkk. 2001. Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: PT Tiara Wacana

—.—.—.[online] diambil 14 Junil 2008 dari: http://209.85.175.104/search?q=cache:zSyFdtmjMU0J:library.usu.ac.id/modules.php%3Fop%3Dmodload%26name%3DDownloads%26file%3Dindex%26req%3Dgetit%26lid%3D116+teori+keluarga&hl=en&ct=clnk&cd=1&gl=id
—.Sukirya,Lina.2002.[online] diambil 14 Junil 2008: http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=113

—.—.—.[online] diambil 14 Junil 2008 dari: http://209.85.175.104/search?q=cache:UOxRHl6dhr0J:www.bkkbn.go.id/ditfor/download.php%3Ftype%3Dp%26prgid%3D91+hubungan+anggota+keluarga&hl=id&ct=clnk&cd=10&gl=id&client=firefox-aProduk
—.—.—.[online] diambil 14 Junil 2008 dari: http://www.kadnet.info/2008/032808/index_020.htm
—.—.—.[online] diambil 14 Junil 2008 dari: HTTP://ELEARNING.UNEJ.AC.ID/COURSES/IKU1234B318/DOCUMENT/KELUARGA_PART_2.PPT?CIDREQ=IKU1234F841.

—.—.—.[online] diambil 14 Junil 2008 dari: http://209.85.175.104/search?q=cache:jNDmhjAd2RkJ:www.buruhmigran.com/kso.php%3Fid%3D25%26kode%3D2+hubungan+anggota+keluarga&hl=id&ct=clnk&cd=2&gl=id&client=firefox-a